Notohamidjojo, Ajaran Komunisme, dan Kekecewaan Terhadap Orde Baru

Notohamidjojo (kiri), Rektor UKSW bersalaman dengan D.N.Aidit (kanan) dalam Seminar Etika Komunisme di UKSW. Tahun tidak diketahui (Dok.Sumbada/UKSW).
Notohamidjojo (kiri), Rektor UKSW, bersalaman dengan D.N.Aidit (kanan), Ketua Umum PKI, dalam Seminar Etika Komunisme di UKSW. Tahun tidak diketahui (Dok.Sumbada/UKSW).

Tidak dapat dipungkiri bahwa golongan Islam, selama pergulatan politik hingga 1965 punya kontribusi pemikiran yang dominan ketimbang golongan Kristen. Golongan Islam, yang mana dalam hal ini diwakili oleh NU dan Muhammadiyah, menjadi salah satu yang paling keras dihantam PKI. Karena itu, tepat jika sekiranya Nasakom (Nasionalis, Agamis dan Komunis), yang dielu-elukan Soekarno untuk “memperhebat barisan revolusi Indonesia”, kita ubah menjadi Nasikom (Nasionalis, Islam, dan Komunis). Keterlibatan aktif golongan Islam dalam pembantaian sepanjang 1965-1968 jadi bukti yang mana kekesalannya terhadap debat pemikiran tersebut meledak menjadi konflik fisik[1].

Lalu, dimanakah posisi golongan Kristen dan Katolik di kancah arus pemikiran hingga 1965? Sepinya kontribusi pemikiran Kristen mungkin disebabkan karena jumlah massa yang tidak sebanyak PNI, NU dan PKI. Namun, bukan berarti sama sekali tidak ada. Golongan Kristen punya tokoh dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo) macam Johannes Leimena yang menjadi Wakil Perdana Menteri Indonesia dan Pejabat Presiden Indonesia selama tujuh kali dan Basoeki Probowinoto, yang namanya sekarang diabadikan sebagai ruang rapat di Gedung G UKSW, Albertus Sugiyapranata (Soegijapranata) dan tidak lupa, Notohamidjojo, Rektor pertama UKSW (1956-1973).

Sebenarnya, Notohamidjojo berbicara banyak soal negara hukum, nasionalisme, pendidikan kristen dan kepemimpinan. Namun isu-isu kebangkitan PKI di Indonesia yang dihembuskan belakangan ini mencuri perhatian saya: bagaimana Notohamidjojo, sebagai salah satu representasi pemikir Kristen Indonesia, memandang soal komunisme? Lalu, bagaimana pemikirannya berlaku dalam sikap dan perilakunya terhadap komunisme? Secara spesifik, saya berhasil menemukan beberapa kata kunci ketika ia berbicara soal keadilan sosial, revolusi dan kepemilikan alat-alat produksi.

Ceceran tulisan-tulisan Notohamidjojo yang kemudian diterbitkan dalam Kreativitas yang Bertanggungjawab (2011) ini bisa dijadikan sebagai acuan untuk memahami ragam pandangan Notohamidjojo, soal revolusi, bangsa dan negara, serta komunisme, yang ‘katanya’ sedang bangkit di Indonesia. Sementara Nyuwito Pak Noto (1993), sebuah biografi dari Sumbada bisa dibuka untuk mengetahui bagaimana tindakan konkret dan relasi yang dibangun Notohamidjojo terhadap komunisme (PKI).

Dalam buku yang ditulis Sumbada, Notohamidjojo sangat bertentangan dengan komunisme. Dengan tegas Sumbada menulis, bahwa Notohamidjojo mengatakan bahwa PKI adalah dalang dari peristiwa 1965 dan berkali-kali dalam tulisannya, ia menyerang paham komunisme.

Mereka sesungguhnya adalah orang yang plin-plan. Dengan segala polah dan tingkahnya, gembar-gembor membela dan memperjuangkan rakyat kecil, golongan lemah, tetapi sesungguhnya hanya untuk melempangkan jalan mendapatkan keuntungan pribadi,” demikian Notohamidjojo menggambarkan orang-orang kiri, dikutip Sumbada.

Walau demikian bukan berarti Notohamidjojo tidak terbuka dengan dialog-dialog dari berbagai golongan. Notohamidjojo pernah mengundang D.N. Aidit untuk memberikan ceramah tentang Etika Komunis. Walau sempat ditentang oleh sivitas kampus, namun mereka akhirnya berakhir menaruh hormat atas niatan Notohamidjojo tersebut. Selain Aidit, Haji Buya Hamka juga diundang berbicara tentang Agama Islam dan Raden Mas Soemantri Hardjoprakosa, tokoh dari agama tradisional Jawa, juga diundang berbicara tentang Kejawen.

Soal Revolusi

Semua hal tentang perubahan sosial di mata komunis berasal dari asumsi bahwa rakyat (dalam hal ini buruh dan pekerja tani) yang termiskinkan dan termarjinalkan dalam sistem ekonomi kapitalisme disebabkan oleh kepemilikan akumulasi modal pada individu maupun monopoli kepemilikan alat dan faktor produksi. Karena itu, revolusi diartikan sebagai pengambilalihan alat-alat produksi oleh negara melalui peran partai komunis dengan politbironya sebagai think-tank untuk kemakmuran rakyat secara merata. Merata atau sama rata perlu digarisbawahi, sebab menjadi etimologi dari commune (sama), yang kemudian menjadi communist.

Di Indonesia, masa revolusi dimaknai melalui dua tahap, yang dimulai dari pengusiran imperial-kolonial Belanda dari tanah air. Soekarno bahkan menyebut kemerdekaan sebagai “jembatan emas,” yaitu sebagai sebuah prasyarat untuk keadilan sosial yang sesungguhnya. Setelah itu, pengambilalihan alat-alat produksi peninggalan Belanda seperti dicita-citakan komunisme dilakukan. Pada bidang industri atau manufaktur, perusahaan Belanda kemudian dinasionalisasikan dan dikelola oleh negara atau swasta nasional. Sementara pada bidang pertanian, Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan sayap organisasi PKI gencar mengkampanyekan reforma agraria, yaitu redistribusi lahan secara tertata dan merata kepada petani berlahan sempit dan tak berlahan. Pada akhir masa Orde Lama, BTI sering melakukan aksi-aksi heroik reclaiming lahan-lahan pertanian.

Namun Notohamidjojo tampaknya hendak melawan hegemoni Orde Lama soal rancangan revolusi ini. Ia dengan tegas menolak mentah-mentah konsep revolusi yang menurutnya duniawi. Dikotomi revolusi duniawi-surgawi ini menurut Notohamidjojo didasari dari bentuk atau sifat manusianya, manusia lama atau manusia yang baru. Manusia yang lama adalah manusia yang berkewarganegaraan kerajaan kegelapan dengan ketaatan kepada hukum kebencian. Sementara manusia yang baru adalah manusia yang berkewarganegaraan baru daripada Kerajaan Allah dengan ketaatan kepada hukum kasih. Perubahan dari manusia yang lama ke manusia yang baru itulah yang dianggap Notohamidjojo sebagai revolusi yang sesungguhnya. Sehingga bagi Notohamidjojo, “revolusi komunis atau revolusi apapun bukan revolusi, melainkan reformisme, oleh karena revolusi dunia ini yang berdasarkan manusia yang lama.”

Pemikirannya sebagai seorang pemimpin perguruan tinggi Kristen sekaligus sarjana hukum ini melahirkan percampuran yang unik: religus yang yudisial. Hal ini tampak dari bagaimana Notohamidjojo menggunakan istilah macam “kewarganegaraan Kerajaan Allah”, “kewarganegaraan kerajaan kegelapan”, “hukum kebencian”, dan “hukum kasih”. Dan dari situlah ia mengalihkan konteks revolusi sebagai reformasi semata, karena tidak benar-benar melakukan pembaruan manusia yang baru, seperti ia rujuk pada Wahyu 21:5 yang menyatakan, “maka Allah yang duduk di atas arasy itu pun berfirman: ‘tengoklah. Aku jadikan semua baharu.” Pembaruan manusia dari lama ke baru itu ia jadikan sebagai landasan Kekristenan yang revolusioner.

Notohamidjojo juga menjelaskan bahwa orang Kristen adalah makhluk yang baru dan sudah seharusnya menjadi ambassadeur (duta besar) daripada Raja Baru-Kristus di dunia yang akan binasa. Karena itu, proklamasi yang revolusioner adalah kedatangan Yesus Kristus untuk yang kedua kalinya. Sekali lagi, Notohamidjojo juga menjelaskan bahwa orang Kristen harus menjadi kooperator Allah yang revolusioner dalam perombakan dunia lama dan pembangunan dunia baru sebagaimana dikehendaki Allah.

Lalu bagaimana pembaruan manusia ini terjadi? Atas karunia dari Allah sendiri yang Tritunggal dan teosentris adanya, sebab menurut Notohamidjojo, kekristenan yang revolusioner itu bukan karena usaha manusia sendiri yang antroposentris. Kekristenan yang revolusioner ini harus merombak manusia dan alam lama dengan pelayanan dan kasih dengan tujuan untuk :

membangkitkan hati nurani manusia yang tertidur, untuk merintis jalan Evengelium Christia, merombak dan menggempur dunia lama yang berdosa untuk membangun kerajaan Baru, yaitu kerajaan Allah di mana Allah bertakhta dengan berkedaulatan.”

Pembaruan manusia dalam konteks revolusi ini tidak jelas maksudnya. Apakah “kewarganegaraan Kerajaan Allah” dan “hukum kasih” apa yang ia maksud? Jika saya mengartikan, nampaknya revolusi bagi Notohamidjojo adalah Kristenisasi. Sebab ia juga merujuk kepada Korintus II 5:17 yang menyatakan, “barangsiapa yang hidup dalam Kristus, maka ia adalah makhluk baru, maka segala yang lama itu sudah lenyap dan yang baru sudah terbit.” Perubahan yang surgawi sebagai revolusi, berarti ketika pembaruan manusia yang baru atau Kristen. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataannya bahwa “dengan wujud baru dan dengan hukum baru itu kita orang Kristen itu harusnya terpanggil untuk mentransformasikan, untuk memperbarui masyarakat dan dunia.” Dengan demikian, Notohamidjojo menggeser definisi revolusi dari semata-mata urusan duniawi menjadi sesuatu yang surgawi.

Soal Alat-Alat Produksi

Ketika komunisme mendesak kepemilikan kolektif dan liberal menjunjung tinggi kebebasan individual, Notohamidjojo mengambil jalan tengah dengan menganjurkan penyebaran kekuasaan antara negara dan swasta dalam bidang ekonomi. Kesejahteraan rakyat adalah yang utama. Dan untuk mencapai hal tersebut, keduanya, baik negara dan swasta saling mengimbangi dan mengawasi, supaya kekuasaan ekonomi tidak disalahgunakan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta untuk menindas dan memeras rakyat, yang seharusnya dilayani.

Sementara soal alat-alat produksi, Notohamidjojo tidak dengan tegas mengatakan menolak pengambilalihan. Tetapi ia menyadari bahwa alat-alat pemuaskan untuk kemakmuran dan kesejahteraan kebendaan maupun rohaniah itu terbatas. Karena terbatas itu, Notohamidjojo menyarankan agar “mereka yang memegang kekuasaan ekonomi bertanggungjawab untuk mempergunakan produksi dan kekuasaan ekonomi bagi rakyat semuanya.”

Dari situ, tampak bahwa Notohamidjojo setuju dengan kepemilikan individu, namun dengan syarat agar kemakmuran seharusnya juga berdampak dan dibagi kepada masyarakat. Hal ini sebagai bagian dari usaha untuk memanusiakan manusia dalam bidang sosial. Sebagai tambahan, ia sekali lagi menekankan pentingnya kesejahteraan kaum buruh, karena Notohamidjojo memandang bahwa manusia bukan untuk produksi, tetapi sebaliknya. Karena itu, produsen harus memperhitungkan kemanusiaan kaum buruh, yang mengenal lelah, yang ingin hidup dengan senang, yang menginginkan waktu terluang, dan yang penting, ingin dipandang sebagai manusia yang penuh. Buruh tidak selayaknya dipandang sebagai manusia dari kelas yang berbeda, karena ia juga menolak ide kelas-kelasan dan menghidupkan gagasan kanca ing gawe, kawan dalam karya yang satu.

Dalam satu argumen yang lain, dapat saya baca bahwa ini adalah satu-satunya pernyataan dari Notohamidjojo yang cukup terang untuk menolak pengambilalihan alat-alat produksi. Sebagai negara yang sedang berkembang, menurut Notohamidjojo sudah sewajarnya ada keterbelakangan dalam bidang teknik, mekanisasi dan rendahnya produksi perkapita. Tampaknya, hal ini menjadi alasan untuk menolak pengambilalihan alat-alat produksi, karena kemiskinan dan kelemahan ekonomi adalah sesuatu yang wajar. Perbaikan ekonomi pada rakyat bukan ditaruh pada kepemilikan alat-alat produksi, namun, seperti disarankan pula olehnya pada banyak pidato, termasuk 1966, mempergunakan sumber dan alat ekonomi secara efisien, serta meningkatkan teknik, mekanisasi dan produksi. Hal ini dijawab dengan dibentuknya Fakultas Pertanian pada 1967 untuk peningkatan produksi di bidang sandang dan pangan serta Fakultas Elektro-Teknik untuk memberikan sumbangan yang konkrit di bidang perkembangan teknik yang diperlukan untuk modernisasi dan industrialisasi. Jadi, Fakultas Pertanian dan Elektro UKSW dicanangkan sebagai bagian dari pembaruan-peningkatan kapasitas agraria dan industri di Indonesia.

Notohamidjojo Pada Akhirnya

Dari berbagai teks pidato pasca 1965, masa kemunculan Orde Baru disambut dengan antusias oleh beliau. Dalam pidato Memanusiakan Manusia dalam Orde Baru misalnya, tampak Notohamidjojo menanggap positif kehadiran rezim baru ini. Berkali-kali ia ucapkan terimakasih, harapan dan saran terhadap pemerintah dan militer yang hadir. Namun, sama seperti orang lain pada masa tersebut, perubahan pandangan politik Notohamidjojo semakin kentara sejak 1969: kurang simpatik.

Ia mengkritik modernisasi yang masuk dan berkembang di Indonesia tanpa rancangan dan penyaluran yang sistematis dari pihak pemerintah. Karena itu ia berharap banyak pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Protes paling keras terlihat pada tulisan 1970 yang berjudul Fungsi Gereja dalam Pembangunan dan Modernisasi, ia kembali menggambarkan situasi mawut dalam bidang sosial-politik-ekonomi-kebudayaan. “Di sini nampak dengan jelas betapa besar segi retrospeksi dari zaman pra-gestapo, dan segi propektif yang melanjutkan praktik-praktik dari Orde Lama. Inflasi tidak dapat di tahan, utang kita bermilyar-milyar dollar, yang rente-nya saja kita tidak mungkin membayar, produksi masih belum kelihatan meningkat…yang meluas dengan subur itu korupsi yang meresapi masyarakat kita dari lapisan atas sampai bawah. Sehingga pernah ada yang bertanya apakah korupsi itu sudah merupakan unsur kebudayaan kita.

Tulisan ini hanya interpretasi dari pemikiran Notohamidjojo dan penulis tidak mengamati secara langsung perilaku beliau. Sehingga wajar jika memiliki kekurangan dan karenanya layak dikritisi lebih lanjut. Buku yang tebal tersebut, perlu dibuka, dibaca dan didiskusi lagi, bilamana ada potongan-potongan lain dari Notohamidjojo kiranya dapat melengkapi tulisan ini. Terlepas dari itu, pemikiran Notohamidjojo harapannya dapat menjadi pertimbangan bagaimana kita, warga kampus UKSW yang creative minority ini dapat berpikir, bertindak dan bersikap, dari pemikiran dan peran the founding father, Notohamidjojo.

Terakhir, apakah pernyataan Notohamidjojo ini berkaitan dengan pembantaian 1965?

Tetapi kalau pemimpin-pemimpin tidak jujur maka harapan penyelesaian tragedi (salah satu bentuk drama yang memperlihatkan kejatuhan pelaku-pelaku utama) nasional ini, tidak menunjukkan akan penyelesiannya… Total-jendralnya, kita dalam dalam modernisasi ini mengalami ketidakmampuan yang tidak diperdulikan oleh banyak pemimpin.

 

[1] Pada akhirnya, pemikiran sosial di Indonesia dapat dikatakan tumpul dan kering setelah penghancuran gerakan kiri sepanjang 1965-1968. Menurut Andy Ramly dalam Peta Pemikiran Karl Marx (2013), kalangan Islam, nasional dan berbagai kelompok lainnya, kehilangan mitra dialog yang tajam dalam memikirkan ideologi dan berbagai perubahan sosial yang dicita-citakan pasca peristiwa berdarah tersebut.

Daftar Pustaka
Sumbada. 1993. Nyuwito Pak Noto. Citra Press Service. Salatiga.
Notohamidjojo. 2002. Kreativitas yang Bertanggungjawab. UKSW. Salatiga.
Ramly, Andi Muawiyah. 2000. Peta Pemikiran Karl Marx : Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis. LKiS. Yogyakarta.

Artikel ini ditulis oleh Bima Satria Putra, Pemimpin Redaksi LPM Lentera. Mahasiswa Jurnalistik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi UKSW.

Penyunting : Galih Agus Saputra

3 Comments

Tinggalkan Balasan